Rabu, 11 April 2012

ILMU DALAM AGAMA ISLAM

BAB I
PENDAHULUAN
1.1  Latar Belakang Ilmu
    Pandangan Al-Quran tentang ilmu dan teknologi dapat diketahui prinsip-prinsipnya dari analisis wahyu pertama yang diterima oleh Nabi Muhammad saw .
“Bacalah dengan (menyebut) nama Tuhanmu Yang menciptakan. Dia telah menciptakan manusia dari ‘alaq. Bacalah, dan Tuhanmulah yang Maha Pemurah. Yang mengajar manusia dengan pena, mengajar manusia apa yang tidak diketahuinya” (QS Al-’Alaq [96]: 1-5).
    Iqra’ terambil dari akar kata yang berarti menghimpun. Dari menghimpun lahir aneka makna seperti menyampaikan, menelaah, mendalami, meneliti, mengetahui ciri sesuatu, dan membaca baik teks tertulis maupun tidak. Wahyu pertama itu tidak menjelaskan apa yang harus dibaca, karena Al-Quran menghendaki umatnya membaca apa saja selama bacaan tersebut bismi Rabbik, dalam arti bermanfaat untuk kemanusiaan. Iqra’ berarti bacalah, telitilah, dalamilah, ketahuilah ciri-ciri sesuatu; bacalah alam, tanda-tanda zaman, sejarah, maupun diri sendiri, yang tertulis maupun yang tidak. Alhasil, objek perintah iqra’ mencakup segala sesuatu yang dapat dijangkaunya.
    Pengulangan perintah membaca dalam wahyu pertama ini bukan sekadar menunjukkan bahwa kecakapan membaca tidak akan diperoleh kecuali mengulang-ulang bacaan atau membaca hendaknya dilakukan sampai mencapai batas maksimal kemampuan. Tetapi hal itu untuk mengisyaratkan bahwa mengulang-ulang bacaan bismi Rabbik (demi Allah] akan menghasilkan pengetahuan dan wawasan baru, walaupun yang dibaca masih itu-itu juga. Demikian pesan yang dikandung Iqra’ wa rabbukal akram (Bacalah dan Tuhanmu Yang Maha Pemurah).
    Selanjutnya, dari wahyu pertama Al-Quran diperoleh isyarat bahwa ada dua cara perolehan dan pengembangan ilmu, yaitu Allah mengajar dengan pena yang telah diketahui manusia lain sebelumnya, dan mengajar manusia (tanpa pena) yang belum diketahuinya. Cara pertama adalah mengajar dengan alat atau atas dasar usaha manusia. Cara kedua dengan mengajar tanpa alat dan tanpa usaha manusia. Walaupun berbeda, keduanya berasal dari satu sumber, yaitu Allah SWT.

1.2. Tujuan
    Tujuan penyusunan makalah ini adalah untuk :
Mendeskripsikan tentang hubungan agama dengan ilmu pengetahuan
Mendeskripsikan ilmu pengetahuan
Mendeskripsikan pentingnya menuntut ilmu dan adab-adabnya



















BAB II
ISLAM DAN ILMU PENGETAHUAN
    Dalam bab ini  dibicarakan, kendatipun sepintas lalu, hubungan agama dengan ilmu pengetahuan. Sebagai defenisi kerja dapatlah dirumuskan bahwa agama islam adalah agama wahyu yang disampaikan malaikat Jibril kepada Nabi Muhammad sebagai Rasul-Nya mula-mula di Mekkah kemudian di Madinah selama (dibulatkan) dua puluh tiga tahun. Sebagai agama wahyu, seperti telah disebut berulang-ulang, komenen utama agama islam adalah akidah, syariah, dan akhlak yang bersumber dari Al-Qur’an dan AL-Hadits. Selain tentang kompenen utama agama islam, didalam Al-Qur’an perkataan ilmu (pengetahuan tentang sesuatu) dalam berbagai bentuk disebut sebanyak 854 kali. Karena banyak dan seringnya perkataan itudisebut dalam berbagai hubunangan (konteks), dapatlah disimpulkan bahwa kedudukan ilmu sangat penting dan sentral dalam agama islam. Perkataan ‘ilm  dilihat dari sudut kebahasaan bermakna penjelasan. Semua ilmu yang disandarkan kepada manusia mengandung arti kejelasan (Ali, 2004).   
    Menurut Al-Qur’an ilmu adalah suatu keistemewaan pada manusia yang menyebabkan manusia unggul terhadap makhluk-makhluk lain. Ini tercermin, seperti telah disebut dimuka, pada kisah Adam waktu ditanya oleh Allah tentang nama-nama benda. Adam dapat menjawab semua nama benda yang ditanyakan kepadanya. Dalam surat al-Baqarah (2): 38 Allah berfirman sambil memerintahkan,’’hai Adam, beritahukanlah kepada mereka (malaikat dan iblis) nama-nama benda.”  Adam pun memberitahukan (denagn menyebut nama-nama benda ) kepada malaikat dan iblis di depan Tuhan. Berdasarkan keterangan Al-Qur’an itu, sejak diciptakan , manusia telah mempunyai potensi berilmu dan mengembangkan ilmunya dengan izin Allah (Quraish Shihab, 1996: 445). Namun, sebelum soal Islam dan ilmu penngetahuan ini dilanjutkan kita bicarakan dahulu kedudukan akal (ilmu) dan wahyu (agama) dalam Islam (Ali, 2004).

2.1. Kedudukan Akal dan Wahyu Dalam Islam               
    Sebelum membicarakan akal dan wahyu, ada baiknya kalau dipahami dahulu arti kedudukan yang terdapat dalam judul butir ini. Kedudukan yang berasal dari kata duduk adalah tempat yang diduduki sesuatu dalam pola tertentu. Jika kita berbicara tentang kedudukan akal dan wahyu dalam islam, yang dimaksud adalah tempat akal dan wahyu dalam system agama islam. Dengan mengetahui kedudukannya, dapat pula diketahui peranannya dalam islam. Kedudukan dan peranan adalah dua hal yang tidak mungkin dicerai pisahkan. Karena kedudukannya, misalnya, orang dapat berperan, bertindak melakukan sesuatu (Ali, 2004).
    Kata akal yang sudah menjadi kata Indonesia itu berasal dari bahasa arab al-‘aql. Artinya, pikiran atau intelek (daya atau proses pikiran yang lebih tinggi berkenaan dengan ilmu pengetahuan). Dalam bahasa Indonesia perkataan akal menjadi kata majemuk akal pikiran (Ali, 2004).
    Perkataan akal dalam bahasa asalnya (Arab) mengandung beberapa arti, di antaranya mengikat dan menahan. Makna akal katanya ikatan. Ia juga mengandung arti mengerti, memahami, dan berpikir. Para ahli filsafat dan ahli ilmu kalam mengartikan akal sebagai daya (kekuatan, tenaga) untuk memperoleh pengetahuan , daya yang membuat seseorang dapat membedakan antara dirinya dengan orang lain, daya untuk mengabstakkan (menjadikan tidak berwujud) benda-benda yang ditangkap oleh panca indera (Harun Nasution, 1986: 12).
    Kedudukan akal dalam agama Islam, adalah sangat penting, karena akallah wadah yang menampung akidah, syari’ah serta akhlak dan menjelaskannya. Kita tidak pernah dapat memahami Islam tanpa mempergunakan akal. Dan dengan mempergunakan akal. Dan dengan mempergunakan akalnya secara baik dan benar, sesuai dengan petunjuk Allah, manusia akan merasa selalu terikat dan denagn sukarela mengikatkan dirinya pada Allah. Dengan mempergunakan akalnya, manusia dapat berbuat, memahami, dan mewujudkan sesuatu. Karena posisinya demikian, dapatlah dipahami kalau dalam ajaran islam ada ungkapan yang menyatakan: akal adalah kehidupan , hilang akal berarti kematian (Osman Raliby, 1981: 37). Namun, kedudukan dan peranan akal dalam ajaran islam tidak boleh bergerak dan berjalan tanpa bimbingan wahyu yang berfungsi meluruskan akal kalau yang menjurus ke jalan yang nyata-nyata salah akibat berbagi pengaruh. Karena itulah Allah menurunkan petunjuknya berupa wahyu.   
    Wahyu berasal dari kata arab al-wahy, artinya suara, api, dan kecepatan. Di samping itu, wahyu juga mengandung makna bisikan, isyarat, tulisan, dan kitab. Selanjutnya al-wahy mengandung arti pemberitahuan secara tersembunyi dan dengan cepat. Namun, dari sekian banyak arti “ apa yang disampaikan Allah kepada para nabi.” Dengan demikian, dalam kata wahyu terkandung arti penyampaian sabda Allah kepada orang pilihan-Nya agar diteruskan kepada umat manusia untuk dijadikan pegangan hidup. Sabda Tuhan itu mengandung ajaran, petunjuk dan pedoman yang diperlukan umat manusia dalam perjalanan hidupnya baik di dunia maupun di akhirat nanti. Dalam Islam wahyu atau sabda Tuhan yang disampaikan kepada Nabi Muhammad, semuanya tersimpan dengan baik dalam al-Qur’an (Ali, 2004).   
    Dari uraian singkat tersebut, dapat disimpulkan kedudukannya akal dan wahyu dalam ajaran islam. Keduanya, akal dan wahyu, merupakan sokoguru ajaran islam. Namun, segera harus ditegaskan Bahwa dalam sitem ajaran Islam, wahyulah yang paling pertama dan utama, sedang akal adalahyang kedua. Wahyulah, baik yang langsung yang kini dapat dibaca dalam kitab suci al-Qur’an maupun yang tidak langsung melalui sunnah Rasulullah yang kini dapat dibaca dalm kitab-kitab hadits yang sahih, yang memberi tuntunan, arah, dan bimbingan pada akal manusia . tidak sebaliknya. Oleh karena itu pula, akal manusia harus dimanfaatkan dan dikembangkan secara baik dan benar untuk memahami wahyu dan berjalan sepanjang garis-garis yang telah ditetapkan Allah dalam wahyu-Nya itu (Ali, 2004).
                                       
2.2. Klasifikasi dan Karakteristik Ilmu Dalam Islam
    Akal menghasilkan ilmu dan ilmu berkembang dalam masa keemasan sejarah Islam. Supaya dapat dipelajari denagn baik dan benar, ilmu perlu diklasifikasikan (digololng-golongkan). Klasifikasi ilmu, karena itu, merupakan salah satu kunci untuk memahami tradisi intelektual Islam. Sejak al-Kindi di abad ketiga H/kesembilan M hingga syah waliullah dari Delhi pada abad kedua belas H/kedelapan belas M, generasi demi generasi sarjana muslim telah mencurahkan pikiran dan kemampuannya untuk membuat klasifikasi ilmu dalam Islam secara rinci. Sebagian klasifikasi itu asli dan berpengaruh besar, tetapi sebagian itu hanyalah pengulangan klasifikasi sebelumnya yang kemudiaan dilupakan orang. Klasifikasi ilmu yang dibuat oleh al-farabi (258/870-339/950), al-Gazali (450/1058-505/1111), dan Qutubuddin al-syirazi (634/1256-710/1311), dikemukakan dalam kajian ini karena ada beberapa pertimbangan. pertama karena mereka adalah pendiri atau wakil terkemuka aliran intelektual (cendekiawan) utama dalam Islam. Kedua, karena mereka masing-masing tumbuh dan berkembang dalam periode-periode penting sejarah islam, Al-Farabi misalny, mewakili periode pada saat kegiatan intensif studi ilmu-ilmu kefilsafatan diawakli, termasuk studi matematika dan ilmu-ilmu kealaman.    Al-Ghazali hidup dua abad kemudian setelah al-Farabi, berada dalam suatu periode yang ditandai oleh ketegangan antara falsafah dan (ilmu) kalam, politik dan keagamaan antara Sunni dan Syiaah, spiritual antanra sufi dan fuqaha (ahli fiqih Islam ). Gazali memainkan peran penting dalam meredakan sebagian ketegangan-ketegangan itu. Qutubuddin muncul kedalam gelanggang kecendikiawanan islam dua abad setelah Gazali. Dia mewakili satu di antara periode-periode yang penuh tantangan dalam sejarah Islam (kejatuhan Baghdad, dan runtuhnya berbagai pusat kecendekiawanan dan keagamaan Islam di kawasan timur ke tangan bangsa Monggol). Tidak lama setelah peristiwa tragis itu, muncul perkembangan baru ilmu-ilmu berdasarkan pemikiran filsafat yang dipelopori oleh Qutubuddin dan gurunya Nasiruddin Tursi (Osman Bakar, 1997: 18-19).                        Dalam uraian berikut akan disebutkan secara ringkas dan dan dalam garis-garis besarnya klasifikasi ilmu yang dibuat oleh ketiga tokoh tersebut. Peminat yang ingin mendalami klasifikasi ilmu ini, sebagai tolak , dapat mempergunakan  buku classification of knowledge in Islam karya Osman Bakar, yang sudah diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia dengan judul Hararki Ilmu, Membangun Rangka-Pikir Islamisasi Ilmu menurut al-Farabi, al-Ghozali dan Quthu al-Din al-syirazi, 300 halaman, (1997).                        1. Menurut al-farabi, klasifikasi dan perincian ilmu adalah sebagai berikut: (I) Ilmu Bahasa, yang dirinci menjadi tujuh bagian, namun, karena pertimbangan teknis, perincian-perincian itu tidak dimuat dalam buku ini. (II) Logika, dibagi menjadi delapan bagian. (III) Ilmu-ilmu Matematis, dibagi ke dalam tujuh bagian, masing-masing dirinci lagi ke dalam sub bagian. (IV) Metafisika, dibagi menjadi tiga bagian. (V) Ilmu Politik, Ilmu Fiqih, dan ilmu kalam, dengan rinciannya masing-masing: Ilmu Politik dua bagian, Ilmu Fiqih dua bagian, dan Ilmu Kalam, dua bagian.2. Dalam berbagai karyanya, al-Ghazali menyebut klasifikasi ilmu yaitu, (1) Ilmu-ilmu teoritis dan praktis, (2) Ilmu yang dihadirkan dan ilmu yang dicapai, (3) Ilmu-ilmu keagamaan dan ilmu-ilmu intelektual, (4) ilmu fardu ‘ain (kewajiban setiap orang) dan ilmu fardu kifayah (kewajiban masyarakat). Menurut al-Ghazali, keempat klasifikasi ilmu adalah sah, walau derajat keabsahannya tidak sama.Mengenai (1) ilmu teoritis dan praktis, Gazali mengatakan ilmu teoritis adalah ilmu yang menjadikan keadaan-keadaan yang wujud diketahui sebagaimana adanya. Ilmu praktis berkenaan dengan tindakan-tindakan manusia untuk memperoleh kesejahteraan di dunia dan akhirat nanti. Tentang (2) ilmu yang dihadirkan dan ilmu yang dicapai, pembagiaannya didasarkan atas perbedaan cara-cara mengetahuinya. Menurut Ghazali pengetahuaan yang dihadirkan bersifat langsung, serta merta, suprarasional (di atas atau di luar jangkaan akal), intuitif (secara intuisi, berdasarkan bisikan hati) dan kontemplatif (bersifat renungan). Dia menyebut ilmu ini, antara lain, dengan sebutan ilmu ladunni. Ilmu yang dicapai adalah ilmu yag dapat dijangkau dengan akal manusia (ilmu insani). Pembagiaan ladunni dan insane Ghazali ini , sama dengan klasifikasi Ibnu Khaldun kedalam (a) ilmu naql (dari wahyu) dan ilmu akal (dari pikiran) kemudiaan. Waktu menjelaskan perbedaan antara (3) ilmu-ilmu keagamaan dengan ilmu  hasil penalaran (intelektual), Gazali mengadakan bahwa ilmu-ilmu keagamaan ialah ilmu-ilmu yang diperoleh dari pada nabi, tidak hadir melalui akal manusia biasa. Yang dimaksud dengan ilmu-ilmu intelektual adalah berbagai ilmu yang dicapai atau diperoleh melalui intelek (daya atau kecerdasan berpikir). Pembagian ilmu kedalam (4) kategori fardu ‘ain dan fardu kifayah dilakukan oleh Gazali berdasarkan pertimbangan (Ali, 2004).
    Demikian cuplikan klasifikasi dan karakteristik ilmu dalam Islam menurut ilmuwan dan cendekiawan Islam terkemuka itu.
    Setelah klasifikasi ilmu tersebut, dalam uraian berikut, ditelusuri sepintas lalu kedudukan ilmu dalam al-Qur’an. Menurut al-Qur’an, seperti diisyaratkan dalam wahyu pertama yang telah disebut di atas, ilmu dibagi dua (seperti disebut juga di muka). Pertama adalah ilmu yang diperoleh tanpa upaya manusia, dinamakan ilm’ ladunni seperti disebut Ghozali di atas. Dasarnya ada diujung surat al-Kahfi yang terjemahan seluruh ayatnya (lebih kurang) sebagai berikut:”lalu mereka bertemu dengan hamba-hamba Kami, yang telah kami anugerahkan kepadanya (sesuatu) dari sisi kami,ynag telah kami ajarkan kepadanya ilmu dari sisi kami.” Il mini disebut ilmu Ilahi. Kedua, ilmu yang diperoleh karena usaha manusia, dinamai ‘ilm Kasbi atau ilmu insani. pembagian ilmu dalam dua golongan ini dilakukan karena menurut al-Qur’an terdapat hal-hal yang ‘ada’ tetapi tidak diketahui oleh manusia. Di samping itu, ada pula wujud yang tidak tampak. Karena tidak diketahui manusia, sebagaimana berulang kali ditegaskan al-Qur’an, antara lain dalm firman-Nya pada surat al-Haqqah (69) ayat 38-39 yang artinya (lebih kurang): “Maka Aku bersumpah dengan apa yang kamu lihat dan dengan apa yang tidak dapat kamu lihat.” Dari kalimat terakhir ini jelas bahwa obyek ilmu ada dua: materi dan nonmateri, fenomena dan nonfenomena, bahkan ada juga wujud yang jangankan dilihat, diketahui manusia pun tidak. (Ali, 2004).
    Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, ilmu pengetahuan adalah gabungan berbagai pengetahuan yang disusun secara logis dan bersistem dengan memperhitungkan sebab akibat . dan menurut Kamus itu juga teknologi ialah kemampuan teknik berlandaskan pengetahuan ilmu eksasta yang bersandarkan proses teknis. Dari rumusan ini dapatlah dikatakan bahwa teknologi adalah ilmu tentang cara menerapkan sains untuk memanfaatkan alam bagi kesejahteraan dan kenyamana hidup manusia. Kalau demikian halnya, maka mesin atau alat lain yang dipergunakan manusia bukanlah teknologi, walaupun secara umum alat-alat tersebut sering diasosiasikan sebagai teknologi. Mesin telah dipergunakan manusia sejak berabad yang lalu, namun abad tersebut tidak dinamakan era teknologi (Harun Nasution, 1986: 12).
    Menulusuri pandangan al-Qur’an tentang teknologi, mengundang kita untuk melihat sekian banyak ayat yang berbicara tentang alam semesta. Menurut para ahli terdapat sekitar 750 ayat al-Qur’an yang berbicara tentang alam materi dan fenomena yang memerintahkan manusia untuk mengetahui dan memanfaatkan alam. Secara tegas dan berulang-ulang al-Qur’an menyatakan bahwa alam semesta diciptakan dan ditundukkan bagi (kepentingan) manusia, sepeti yang disebutkan pada awal suret al-Jatsiyah (45) ayat 13 yang artinya (lebih kurang),”Dan Dia menundukkan untukmu apa yang ada dilangit dan apa yang ada dibumi semuanya (sebagai rahmat) dari-Nya……” Penundukan tersebut, secara potensial, terlaksana melalui Sunnatullah (hukum-hukum yang ditetapkan Allah pada alam) dan kemampuan yang dianugerahkan-Nya pada manusia. Al-Qur’an menyebutkan sifat dan cirri-ciri alam semesta (sebagaiman telah disebutkan dalam butir Manusia dan Alam Semesta di muka), ditambahkan lagi antara lain di sini (1) Segala sesuatu di alam semesta mempunyai sifat, cirri dan hukumyang ad dalam al-Qur’an surat al-Ra’d (13) ayat 8 disebut Iukuran. (2) Semua yang berada di alam semesta tunduk kepada-Nya.”Hanya kepada Allahlah tunduk segala (yang ada) di langit dan (yang ada) dibumi secara sukarela maupun karena terpaksa,,,,” demikian makna firman Tuhan pada awal ayat 15 surat ar-Ra’d (13). (3) benda-benda alam, apalagi yang tidak bernyawa, tidak diberi kemampuan untuk memilih, sepenuhnya tunduk kepada Allah melalui hokum-hukum-Nya. Dalam surat al-Fussilat (41) ayat 11 terdapat firman Tuhanyang artinya (lebih kurang) sebagai berikut,” kemudian, Dia menuju penciptaan langit dan langit itu masih merupakan asap. Lalu Dia (Allah) berkata padanya dan kepada bumi:’datanglah (tundukkan) kamu berdua pada perintah-Ku dengan sukarela atau terpaksa.”Keduanya (langit dan bumi) berkata:’kami dating (tunduk) dengan sukarela.”selain sifat, cirri-ciri dan hukum Allah pada alam semesta, tiga di antaranya telah disebut dalam butir 1 di muka, manusia diberi kemampuan untuk mengetahui sifat, cirri, dan hokum-hukum yang berkaitann dengan alam semesta, sebagaimana diinformasikan oleh firman-Nya dalam al-Qur’an surat al-Baqarah (2) ayat 31 (yang telah disinggung dimuka), artinya (lebih Kurang),”Allah mengajarkan kepada Adam nama-nama (benda) semuanya.” Yang dimaksud dengan nama-nama pada ayat tersebut adalah sifat, cirri dan hokum suatu benda. Dengan itu manusia berpotensi mengetahui rahasia alam semesta. Adanya potensi itu dan tersedianya lahan atau bahan ciptaan Allah serta ketidakkemampuan alam semesta membangkan (tidak patuh) terhadap perintah dan hokum-hukum Allah, memungkinkan ilmuwan secara pasti mengetahui hokum-hukum alam yang disebut Sunnatullah di atas. Karena itu pula manusia berpotensi untuk memanfaatkan alam yang telah ditundukkan Allah itu. Keberhasilan manusia memanfaatkan alam merupakan buah ilmu pengetahuan dengan bantuan teknologi (iptek).
    Al-Qur’an memerintahkan manusia untuk terus berupaya meningkatkan kemampuan ilmiahnya. Jangankan manusia (biasa), Nabi Muhammad pun sebagai Rasulullah diperintahkan selalu berusaha dan berdoa agar pengetahuannya bertambah. Do’anya dirumuskan Allah sendiri di ujung ayat 114 surat Taha (20) berbunyi:”Rabbi   zidni ilma(n) (baca: rabbi zidni ilma), yang artinya (lebih kurang):Tuhan ku tambahlah ilmu (pengetahuan)-ku. Do’a ini perlu selau diucapkan , dimohonkan kepada Allah agar ilmu kita ditambah-Nya, sebab Dialah sumber segala ilmu …..” Di atas orang yang mempunyai (ilmu) pengetahuan ada (Allah) Yang Maha Mengetahui,” demikian arti ujumg ayat 76 surat Yusuf (12). Selain itu, perlu dikemukakan bahwa manusia memiliki naluri haus pengetahuan, sebagaiman dilukiskan Rasulullah dalam sunnahnya,”Ada dua keinginan yang tidak pernah terpuaskan yaitu keinginan menuntut (mencari) harta.” (M.Quraish Shihab, 1996:447).
    Uraian di atas dan ucapan Rasulullah ini menjadi pendorong manusia untuk terus menuntut ilmu dan mengembangkan teknologi denagn memanfaatkan teknologi dengan memanfaatkan anugerah Allah kepada manusia. Kini, ilmu pengetahuan dan teknologi adalah lapangan kegiatan yangterus berkembang karena (umumnya) bermanfaat bagi kehidupan manusia. Berkat hasil pengetahuan dan teknologi banyak segi kehidupan dipermudah. Dahulu , untuk mengetahui waktu sholat misalnya, orang Islam harus melihat kedudukan matahari denagn mata kepala .sekarang, cukup dengan melirik posisi jarum arloji yang melekat di pergelangan tangan atau susunan angka yang memberitahukan pukul berapa (H.A.Syahrul Alim, 1995:3). Karena manfaatnya itu, laju teknologi tidak mungkin dibendung.Yang perlu di usahakan adalah mengarahkan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi untuk kemashalatan hidup dan kehidupan manusia, tidak untuk merusak dan membahayakan umat manusia (M.Quraish Shihab, 1996:447) serta lingkungan hidupnya. Pengarahnya adalah agama dan moral yang selaras dengan ajaran agama. Dalam pengembangan ilmu dan penerapan teknologi, agama Islam, mampu menjadi pemandu dan pemadu agama denagn ilmu pengetahuan dan teknologi, mampu memadukan wahyu dengan rakyu (akal pikiran manusia), mampu memadukan agama yang diistilahkan dengan iman dan takwa (imtak) dengan ilmu pengetahuan dan teknologi (iptek) dalam pembendaharaan bahasa Indonesia kontemporer. Di sinilah letak hubungan antara agama Islam yang bersumber dari al-Qur’an dan al-Hadits atau sunnah Rasullullah dengan ilmu pengetahuan dan teknologi (iptek) yang bersumber dari akal dan penalaran manusia yang disebut pada awal bab ini. (Ali, 2004).
2.3.Keutamaan Menuntut Ilmu
    Keutamaan menuntut ilmu dapat kita lihat pada kisah Imam Syafiiy:
    Yang mulia Imam Syafiiy dilahirkan pada bulan Rajab tahun 150 H (767 M) di Ghazab dalam keadaan yatim. Pada usia 2 tahun Imam Syafiiy dibawa oleh ibunya ke Mekkah, tempat kelahiran ayahnya. Beliau hidup di bawah asuhan ibunya dalam penghidupan dan kehidupan yang sangat sederhana dan kadang-kadang menderita kesulitan. Walaupun demikian ketika baru berusia sembilan tahun, beliau sudah hafal Al-Qur‘an sebanyak 30 juzz di luar kepala dengan lancar. Pada usia ke sepuluh tahun beliau sudah hafal dan mengerti Al Muwaththa‘ Imam Maliky (M.Quraish Shihab, 1996:447).
    Imam Syafiiy sangat rajin dan tekun menuntut ilmu, walaupun sering menderita kesukaran dan kekurangan untuk membeli alat-alat perlengkapan belajar seperti kertas, tinta, dan sebagainya. Namun karena semangatnya yang tinggi maka beliau sering mencari tulang-tulang dan mengumpulkannya dari jalanan untuk ditulis di atasnya pelajaran yang diperoleh atau mencari kertas bekas untuk menulis. Catatan beliau sangat banyak sampai memenuhi gubuk sehingga beliau tidak bisa tidur berbaring karena gubuknya sudah penuh sesak. Akhirnya beliaui mencoba menghafalkan semua catatan yang telah ada sehingga semuanya terekam dalam hati dan tercatat dalam otak. Syairnya yang terkenal berbunyi :
“Ilmuku selalu bersamaku ke mana aku pergi
Kalbuku yang telah menjadi gudangnya dan bukan lagi peti-peti
Bila aku berada di rumah, ilmuku pun bersamaku pula di rumah
Dan bila aku di pasar, ilmuku pun berada di pasar”
    Beliau belajar dari banyak guru, tidak pernah merasa cukup akan ilmu yang dimilikinya, selalu haus akan ilmu, dan bila mendengar ada ilmu baru maka beliau akan mengejarnya walaupun harus menempuh perjalanan yang jauh dan melelahkan. Beliau telah diberi izin untuk mengajar dan memberi fatwa kepada khalayak ramai dan diberi jabatan sebagai guru besar di dalam Masjidil Haram karena kepintarannya tersebut, walaupun usianya masih muda sekali yaitu 15 tahun. Imam Syafiiy dihormati baik oleh pengusaha negeri maupun masyarakat awam yang berada di tempat beliau tinggal karena keluhuran dan ketinggian ilmunya. Sebagaimana firman Allah dalam surat Al-Mujaadilah ayat 11, maka telah terbukti bahwa Allah akan meninggikan derajat orang-orang yang berilmu sebagai keutamaan mereka karena tidak jemu-jemunya menuntut ilmu baik itu ilmu pengetahuan maupun ilmu agama (Harun Nasution, 1986: 12).
    Allah memberikan kemuliaan kepada orang-orang yang berilmu dengan memberikan berbagai keutamaan kepada mereka seperti yang tercantum dalam:
1. “Sebaik-baik umatku adalah ulama dan sebaik-baik ulama adalah yang berkasih sayang. Ingatlah bahwa sesungguhnya Allah akan mengampuni orang alim sebanyak 40 dosa dan setelah itu Allah mengampuni 1 dosa orang bodoh.”
2. “Dan ingatlah orang alim yang rahim (kasih sayang) akan datang pada hari kiamat dengan bercahaya dan akan menerangi antara barat dan timur seperti terangnya bulan purnama.”
3. “Allah akan tetap menolong hamba-Nya selama hamba-Nya mau menolong saudaranya. Dan barangsiapa yang menempuh suatu jalan untuk mencari ilmu pasti Allah memudahkan baginya jalan untuk ke syurga. Dan apabila berkumpul suatu kaum di suatu rumah dari rumah-rumah Allah (mesjid) dengan membaca Al-Qur`an dan mempelajarinya sesama mereka maka niscaya turun atas mereka ketentraman dan mereka diliputi rahmat dan dikelilingi para malaikat dan Allah menyebutnya dalam golongan yang adapada-Nya. Dan barangsiapa yang lambat amalnya maka tidak akan dipercepat diangkat derajatnya.”
4. “Barangsiapa berjalan untuk menuntut ilmu maka Allah akan memudahkan baginya jalan ke syurga” (HR. Muslim).
5. “Barangsiapa memberikan petunjuk kebaikan maka baginya akan mendapatkan ganjaran seperti ganjaran yang diterima oleh orang yang mengikutinya dan tidak berkurang sedikit pun hal itu dari ganjaran orang tersebut.” (HR. Muslim).
6. “Jika anak Adam telah meninggal dunia maka terputuslah amalnya kecuali 3 hal:
1) Ilmu yang bermanfaat
2) Sedekah jariyah
3) Anak Shaleh yang mendoakan kedua orang tuanya” (HR. Muslim).
7. “Barangsiapa yang dikehendaki oleh Allah untuk diberi kebaikan maka orang itu lalu memperdalam agama Islam” (HR. Bukhari-Muslim).
2.4.Kewajiban Menuntut Ilmu
    Ketika membacakan klasifikasi ilmu pada butir B di atas, al-Ghozali menyebut dalam klasifikasinya, ilmu fardu ‘ain dan ilmu fardu kifayah. Istilah fardu ‘ain merujuk pada kewajiban agama yang mengikat setiap muslim dan muslimah. Ilmu fardu ‘ain adalah ilmu yang waib dituntut, dicari dan diamalkan oleh setiap pemeluk agama Islam. Istilah fardu kifayah merujuk pada hal-hal yang merupakan perintah ilahi yang mengikat komunitas muslim dan muslimat sebagi satu kesatuan, tidak mengikat setiap anggota komunitas. Contoh, mempelajari agama dengan mengikuti mata kuliah Pendidikan Agama adalah fardu ‘ain (kewajiban individual setiap mahasiswa dalam Negara Republik Indonesia yang berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa (pasal 29 ayat (1) UUD 1945 dan sila pertama pancasila), sesuai dengan agama yang dipeluknya. Mempelajari ilmu kedokteran adalah fardu kifayah bagi komunitas mahasiswa Indonesia, tetapi kewajiban itu tidak mengikat mahasiswa fakultas hukum, karena sudah ada mahasiswa fakultas kedokteran yang melakukan atau mempelajarinya. Tetapi, kalau tidak ada seorang pun mahasiswa Indonesia mempelajari ilmu kedokteran, dilihat dari fardu kifayah (kewajiban sosial atau kewajiban kemasyarakatan) ini, semua anggota komunitas Indonesia, terutama mahasiswanya, berdosa karena meninggalkan atau tidak melaksanakan fardu kifayah itu, dan memikul akibatnya, kalau, misalnya, anggota komunitas Indonesia sakit, tidak ada ahli ilmu kedokteran ( dokter), yang mengobati dan menyembuhkannya (Shihab, 1996:447).

    Kalau klasifikasi ghozali tersebut di atas dihubungkan dengan ilmu, maka menuntut ilmu merupakan kewajiban manusia, laki-laki dan perempuan, tua dan muda, orang dewasa dan anak-anak menurut cara-cara yang sesuai dengan keadaan, bakat dan kemampuan. Bahwa menuntut atau mencari ilmu merupakan kewajiban bagi setiap muslim dan muslimat (tanpa membedakan jenis kelamin) dasarnya terdapat baik di dalam al-quran maupun di dalam al-hadis pada uraian berikut, disebutkan secara singkat dasar, dorongan kewajiban menuntut ilmu.
Di dalam al-quran terdapat sebuah cerita menarik diberitakan bahwa pada awal penugasan manusia sebagai holifah dibumi, Allah mengajarkan kepada adam semua nama-nama benda. Adam adalah symbol manusia, sedang’ nama-nama benda’ adalah unsure-unsur pengetahuan, baik yang duniawi maupun bukan duniawi.
    Tatkala Allah bertanya kepada malaikat mengenai nama-nama benda yang telah diketahui adam dan ia mampu menyebutnya, para malaikat mengaku bahwa mereka tidak tahu nama-nama benda (itu), karena dengan jujur malaikat mengatakan bahwa mereka hanya mengetahui apa yang telah diajarkan Allah kepada mereka. Tentang nama-nama benda tidak diketahuinya karena adam tahu dan mampu menyebutnya sedang malaikat tidak mempunyai kemampuan seperti adam, Allah memerintahkan semua malaikat sujud, member hormat kepada adam. Penghormatan itu mereka lakukan kecuali iblis yang kendati pun tidak tahu nama-nama benda yang ditanyakan Allah kepadanya dank arena itu disuruh member hormat (sujud) kepada adam, membangkang dan bersumpah akan menggoda (mengganggu) adam dan keturunannya. Menarik untuk dicatat bahwa keunggulan adam atas malaikat (juga terhadap iblis) adalah karena pengetahuannya mengetahui dan dapat menyebutkan nama-nama benda yang ditanyakan kepadanya (Harun Nasution, 1986: 12).     
2.5. Adab Menuntut Ilmu
    Dalam menuntut ilmu perlu diperhatikan beberapa adab, yaitu :
1. Niat
    Niat dalam menuntut ilmu adalah untuk mencari ridho Allah. Hendaknya diringi dengan hati yang ikhlas benar-benar karena Allah. Bukan untuk menyombongkan diri, menipu orang lain ataupun pamer kepandaian, tetapi untuk mengeluarkan diri dari kebodohan dan menjadikan diri kita bermanfaat bagi orang lain.
2. Bersungguh-sungguh
    Dalam menuntut ilmu haruslah bersungguh-sungguh dan tidak pernah berhenti. Allah mengisyaratkan dalam firman-Nya yang berbunyi : “Dan orang-orang yang berjuang di jalan Kami pastilah akan Kami tunjukkan kepada mereka jalan Kami.”
3. Terus-menerus
    Hendaklah kita jangan mudah puas atas ilmu yang kita dapatkan sehingga kita enggan untuk mencari lebih banyak lagi. Seperti pepatah yang disampaikan oleh Sofyan bin Ayyinah : “Seseorang akan tetap pandai selama dia menuntut ilmu. Namun jika ia menganggap dirinya telah berilmu (cepat puas) maka berarti ia bodoh.” Allah lebih menyukai amalan yang sedikit tapi dilakukan secara terus menerus dibandingkan amalan yang banyak tetapi hanya dilakukan sehari saja.
4. Sabar dalam menuntut Ilmu
    Salah satu kesabaran terpuji yang harus dimiliki oleh seorang penuntut ilmu adalah sabar terhadap gurunya seperti kisah Nabi Musa as dan Nabi Khidr as (QS Al Kahfi : 66-70). Kita jangan cepat putus asa dalam menuntut ilmu jika mendapatkan kesulitan dalam memahami dan mempelajari ilmu. Allah tidak menyukai orang yang berputus asa dari rahmat-Nya seperti firman-Nya ……(?)
5. Menghormati dan memuliakan orang yang menyampaikan ilmu kepada kita
    Di antara penghormatan murid terhadap gurunya adalah berdiam diri maupun bertanya pada saat yang tepat dan tidak memotong pembicaraan guru, mendengarkan dengan penuh khidmat, dan memperhatikan ketika beliau menerangkan, dan sebagainya.
6. Baik dalam bertanya
    Bertanya hendaknya untuk menghilangkan keraguan dan kebodohan diri kita, bukan untuk meremehkan, menjebak, mengetes, mempermalukan guru kita dan sebagainya.l Aisyah ra tidak pernah mendengar sesuatu yang belum diketahuinya melainkan sampai beliau mengerti. Orang yang tidak mau bertanya berarti menyia-nyiakan ilmu yang banyak bagi dirinya sendiri. Allah pun memerintahkan kita untuk bertanya kepada orang yang berilmu seperti dalam firman-Nya dalam QS 16:43.


BAB III
KESIMPULAN
    Setiap muslim wajib menuntut ilmu. Rasulullah saw bersabda: “Menuntut ilmu adalah kewajiban bagi setiap muslim laki-laki dan perempuan”. Allah memberikan keutamaan dan kemuliaan bagi orang-orang yang berilmu dalam firman-Nya dalam Al-Qur`an surat Al-Mujaadilah ayat 11 : “Allah akan meninggikan orang-orang yang beriman diantaramu dan orang-orang yang diberi ilmu pengetahuan beberapa derajat”. Orang-orang yang berilmu akan pula dimudahkan jalannya ke syurga oleh Allah dan senantiasa didoakan oleh para malaikat.
    Sabda Rasullullah SAW :“Seorang alim (berilmu)dengan ilmunya dan amal perbuatannya akan berada di dalam syurga, maka apabila seseorang yang berilmu tidak mengamalkan ilmunya maka ilmu dan amalnya akan berada di dalam syurga, sedangkan dirinya akan berada dalam neraka” (HR. Daiylami)
    Keutamaan manusia dari makhluk Allah lainnya terletak pada ilmunya. Allah bahkan menyuruh para malaikat agar sujud kepada Nabi Adam as karena kelebihan ilmu yang dimilikinya. Cara kita bersyukur atas keutamaan yang Allah berikan kepada kita adalah dengan menggunakan segala potensi yang ada pada diri kita untuk Allah atau di jalan Allah.








Tidak ada komentar:

Posting Komentar